Header Ads

Dokter Bertarif Rp 10.000 Kesahajaan Mangku Sitepoe, yang Meninggalkan Banyak Kesan


Pria paruh baya itu perlahan-lahan ingat siapa pengemudi angkutan umum yang baik hati itu. Tapi saya tidak pernah ingat namanya.

Mangku Sitepoe, seorang dokter yang selama 24 tahun belum dibayar dari uang pasien, merasa senang bahwa kegiatan sosialnya berdampak langsung kepadanya. Tidak muluk-muluk, hanya membebaskan biaya biaya ketika naik transportasi umum.

Apa yang menuai oleh Mangku dimulai pada 1995, ia berpraktik di klinik St. Yohanes Evangelist di Jalan Sambas, Kebayoran Baru. Klinik ini adalah fasilitas dari gereja untuk melanjutkan proposal teman Mangku Iwan Darmansyah untuk terus melakukan kegiatan sosial secara berkelanjutan.

Mangku setuju dengan proposal tersebut. Hasrat altruistiknya telah membengkak, menginginkan kegiatan sosialnya terus dirasakan oleh masyarakat.

seorang lelaki dari tiga anak dan lima cucu menceritakan sebuah kisah. Pada saat itu ada ratusan pasien yang mencari perawatan di klinik St. Evangelist. Tahun demi tahun, kegiatan Mangku dan teman-temannya yang membebaskan biaya perawatan medis sedikit terganggu karena mereka tahu bahwa pasien kembali untuk menjual obat-obatan mereka.

Sejak itu, pada tahun 2003 yayasan mengadopsi kebijakan memungut 2.500 IDR untuk pasien. Uang itu dikonfirmasi oleh Mangku bukan untuk dirinya sendiri atau dokter yang mempraktikkannya.

"Itu untuk yayasan, kata Mangku ketika dia memberi tahu saya di klinik cabang Saint Evangelist, Klinik Layanan Sosial Saint Tarsisius di Kebayoran Lama, Selasa (3/9) sore.

Pada sekitar 2012, tepatnya ketika penggunaan BPJS dilakukan secara nasional, klinik menetapkan tarif Rp 10 ribu - Rp 15 ribu. Bahkan jika Anda tidak membayar, tidak apa-apa.

Mangku dan dokter lain merawat ratusan pasien di dua klinik ini. Dari ratusan pasien, tidak ada yang dia ingat namanya. "Tentu saja saya tidak ingat apa-apa," kata pria dari Deli Serdang.

Mangku yang tinggal di Jalan Kebon Nanas, Grogol Utara, menggunakan 09 angkot, rute Tanah Abang-Kebayoran Lama untuk praktik klinik. Biaya dari rumah ke Klinik Tarsisius adalah Rp4 ribu. Sedangkan untuk pergi ke Saint Evangelist Clinic, ia harus naik angkot dua kali, dengan biaya kadang-kadang bervariasi tergantung pada pengemudi pada jam berapa tarif ditetapkan.

Rutin menggunakan transportasi umum rupanya suatu saat bagi pengemudi yang mengingat Mangku karena ia telah memperlakukannya.

"Saat saya mau membayar 'udah pak enggak usah. Saya berobat ke bapak saya pulih, tanpa membayar juga' dia kata Ia membayar saat itu.

Pria dengan latar belakang dokter hewan dan masyarakat umum menyambut gembira kegiatannya berbakti sosial diterima langsung oleh masyarakat. Itu tidak risau tidak ada uang dari praktiknya di dua klinik tersebut. Kehidupannya saat ini ditopang dari hasil pensiunnya.

Sementara ekosistem klinik di atas terdiri dari donatur dan rekan Mangku bernama Gunawan, seorang pengusaha asal Semarang.

Di akhir pembicaraan dengan saya, pria 84 tahun itu disetujui tidak akan menerima pensiun berpraktik merawat pasien. Orang-orang dekat orang-orang di sekitar tidak perlu melihat orang tua bepergian menggunakan angkot sembari memegang tongkat saat berjalan.

Anak-anak atau cucu-cucu Mangku tidak mau mengantarnya berpraktik, ingin Mangku sendiri menggunakan angkot.

"Tolong bapak kerjakan apa yang bapak senangi, jika ada yang kurang menginap," kata Mangku menirukan meminta anak-anak.

Tidak ada komentar